Surabaya, wartaberkah Indonesia
—
Ombudsman RI
Jawa Timur meminta
Polda Jawa Timur
membuka data dan informasi soal penangkapan dan penegakan hukum terhadap massa demonstrasi pada 29-31 Agustus 2025.
Kepala Perwakilan Ombudsman RI Jawa Timur Agus Muttaqin mengatakan polisi menangkap sejumlah orang yang diduga terlibat kericuhan, namun tidak diikuti dengan publikasi status mereka, apakah tersangka atau saksi.
“Polda dan Polres seharusnya transparan dengan membuka data siapa saja yang ditangkap. Mereka tersangka atau sebatas saksi. Kami tentu tidak ingin ada maladministrasi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum kasus unjuk rasa anarkis,” kata Agus, Sabtu (13/9).
Agus mengatakan telah bertemu Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya yang selama ini getol mengadvokasi para tersangka sekaligus memonitor proses hukum.
Menurutnya, LBH Surabaya kebanjiran laporan penangkapan terhadap orang-orang yang dicurigai terlibat kerusuhan.
“Kami justru tahu polisi belakangan menangkapi orang-orang itu dari informasi teman-teman LBH,” kata Agus.
Dari data LBH Surabaya, para tersangka yang ditahan di antaranya 6 orang di Polda, 33 orang di Polrestabes Surabaya, 12 orang di Polres Blitar Kota, serta masing-masing 1 orang di Polres Kediri Kota, Polres Jember, dan Polres Tulungagung. Sebagian dari tahanan itu anak-anak berstatus pelajar.
“Data itu dinamis, artinya ada peluang akan bertambah. Dari informan kami, di Jember tadi malam ada update ada 7 orang ditangkap, termasuk 2 anak-anak,” ujar Agus.
Agus merasa heran polisi tidak mempublikasikan identitas yang ditangkap, termasuk status mereka, apakah tersangka atau saksi.
Menurutnya, sikap polisi yang enggan mempublikasikan data penangkapan itu membuka peluang terjadinya malaadministrasi. Bentuknya bisa berupa penyimpangan prosedur dan penyalahgunaan wewenang.
“Mulai soal penahanan melebihi 1×24 jam, penangkapan tanpa surat perintah, pembatasan akses informasi identitas korban, pemeriksaan tanpa pendampingan, hingga penyitaan tanpa prosedur,” kata Agus.
Sementara itu, Komisioner Komisi Informasi (KI) Provinsi Jawa Timur, M Sholahuddin menyatakan bahwa transparansi adalah pilar utama dalam demokrasi.
“Dalam perkara (aksi massa) itu, publik berhak untuk tahu bagaimana proses penegakan hukum berjalan, apalagi dalam kasus yang menyangkut kerugian publik seperti pembakaran fasilitas umum,” kata Sholahuddin saat dihubungi terpisah.
Menurut Sholahuddin, sebagai lembaga publik pihak kepolisian wajib untuk menyampaikan informasi secara terbuka, khususnya terkait jumlah tersangka, jenis pelanggaran yang dituduhkan, dan tahapan proses hukum yang sedang berjalan.
“Namun, kita juga harus memahami bahwa UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik memiliki pasal pengecualian, di Pasal 17. Informasi yang dapat menghambat proses penyidikan atau melanggar privasi individu dapat dikecualikan dengan catatan ketat dan terbatas, artinya pengecualian itu hanya untuk sementara waktu,” ujarnya.
Sholahuddin mendorong pihak kepolisian untuk membuka informasi secara bertahap, sesuai dengan perkembangan kasus. Juga, memberikan penjelaskan alasan yang kuat kepada publik, mengapa identitas tersangka itu tidak dibuka ke publik.
“Penjelasan itu harus didasarkan pada peraturan, bukan hanya alasan keamanan atau privasi tanpa dasar,” ujarnya.
“Pada intinya, informasi harus dibuka, kecuali jika ada alasan kuat yang sah secara hukum untuk tidak melakukannya. Kami akan terus ikut memantau dan mendorong agar proses ini berjalan transparan dan akuntabel demi kepentingan publik,” imbuhnya.
wartaberkahIndonesia.com
sudah berupaya mengonfirmasi Kabid Humas Polda Jatim Kombes Jules Abraham Abast perihal pernyataan Ombudsman dan Komisi Informasi Jatim ini. Namun hingga berita ini ditayangkan, yang bersangkutan belum memberikan respons.
Sebelumnya, Polrestabes Surabaya telah menetapkan 33 orang tersangka dalam aksi demonstrasi berujung kericuhan dan bentrokan sepanjang 29-31 Agustus 2025. Mereka diduga terlibat perusakan di sejumlah titik hingga pembakaran Gedung Negara Grahadi, Mapolsek Tegalsari dan 29 Pos Polisi.
Kabid Humas Polda Jawa Timur Kombes Jules Abraham Abast menyebutkan, awalnya polisi menangkap 315 orang dari sejumlah titik kericuhan. 128 orang di antaranya merupakan anak-anak dan 187 lainnya dewasa.
Jules menyebutkan, dari jumlah 315 orang, 275 di antaranya dipulangkan. Sedangkan 33 di antaranya ditetapkan sebagai tersangka.
“Sementara dari jumlah tersebut penyidik Polres Surabaya telah menetapkan 33 orang menjadi tersangka. Di mana 27 tersangka merupakan tersangka dewasa yang saat ini telah ditahan dan ada enam pelaku anak,” kata Jules di Mapolrestabes Surabaya, Jumat (5/9).
Jules menyebut, 27 orang dewasa itu kini sudah ditahan sedangkan enam anak berhadapan dengan hukum (ABH) saat in dipulangkan atau diserahkan ke keluarganya masing-masing, untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Sementara Polda Jawa Timur menetapkan sembilan orang tersangka pembakaran Gedung Negara Grahadi sisi barat. Satu di antaranya merupakan orang dewasa, sedangkan delapan sisanya merupakan anak di bawah umur atau anak berhadapan dengan hukum (ABH).
Jules mengatakan para tersangka dikenakan dengan delapan pasal ataupun undang-undang. Yaitu Pasal 406 KUHP, Pasal 363 KUHP, Pasal 212 KUHP Kemudian ada Pasal 187 KUHP, Pasal 170 KUHP, Pasal 160 KUHP, kemudian Pasal 1 dan 2 Undang-Undang Darurat Nomor 12 Tahun 51. (frd)
(fra/frd/fra)
[Gambas:Video wartaberkah]
Baca lagi: Angga Sasongko: 72 Persen Pasar Bioskop RI Dikuasai Film Lokal
Baca lagi: 42 thousand workers in 3 Hyundai factories in South Korea are compact strike
Baca lagi: Erika Carlina Umumkan Kelahiran Anak Laki-laki Pertama