Warta Berkah

6 Teori Gerakan 30 September 1965, Versi Mana Paling Sahih?

Situs News Indoesia Alternatif Informasi Berita Viral Terbaru

Jakarta, wartaberkah Indonesia

Hari ini, 60 tahun lalu, peristiwa
Gerakan 30 September
meletus. Sebanyak 6 jenderal dan satu perwira diculik pada malam 30 September 1965, kemudian dibunuh.
Peristiwa tersebut jadi salah satu titik penting sejarah Indonesia, menandai fase akhir dari kepemimpinan Sukarno yang kemudian digantikan oleh Soeharto. Hingga hari ini, peristiwa G30S belum sepenuhnya terungkap.
Narasi tunggal Orde Baru menempatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang utama. Namun, narasi yang diproduksi dan direproduksi selama tiga dekade ini, digugat oleh narasi-narasi lain di luar rezim, seturut tumbangnya rezim Soeharto.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Narasi alternatif soal peristiwa G30S ditulis oleh sejumlah sejarawan dan ilmuwan politik dalam dan luar negeri hingga saksi-saksi peristiwa G30S. Beragam versi pun hadir dengan cerita berbeda yang menunjukkan kompleksitas peristiwa G30S.
Versi-versi lain itu meliputi berbagai skenario, asumsi, dan analisis atas fakta-fakta peristiwa maupun persidangan. Versi ini terbentang mulai dari dugaan keterlibatan CIA, Soeharto, hingga konflik internal TNI AD. Atau versi dari John Roosa yang menyebut tidak adanya pelaku tunggal dalam peristiwa G30S.
Setiap versi punya cerita dan argumentasi tersendiri, baik berdasarkan bukti-bukti histori maupun dari posisi politik. Namun, yang jelas, G30S bukan sekedar tragedi penculikan jenderal yang diikuti pembersihan kader dan simpatisan PKI. Peristiwa ini sekaligus titik balik yang mengubah arah sejarah bangsa Indonesia. Berikut enam versi peristiwa G30S.
1. PKI dalang G30S
Ini adalah sejarah versi Orde Baru. Alur peristiwa G30S/PKI ditulis dalam buku putih berjudul
Tragedi Nasional: Percobaan KUP G 30 S/PKI di Indonesia
(1968) karya sejarawan militer Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh.
Nugroho adalah sejarawan cum sastrawan. Dia dipercaya oleh militer menggarap sejumlah proyek sejarah. Di masa Orde Baru, Nugroho menjadi arsitek penulisan sejarah Indonesia untuk kurikulum sekolah. Selain itu. dia juga pernah menjabat sebagai menteri pendidikan.
Dalam buku itu Nugroho menyebut peristiwa Gerakan 30 September 1965 dimotori oleh Biro Khusus PKI bersama sejumlah simpatisan di tubuh Angkatan Darat.
“Operasi 1 Oktober 1965 dibuka oleh ‘Gerakan 30 September’ direncanakan dalam serentetan pertemuan yang dihadiri para pemimpin Biro Khusus PKI dan para simpatisan yang ada dalam Angkatan Bersenjata. Pertemuan pertama diadakan kira-kira sebelum 17 Agustus 1965 di rumah Sam, dan dihadiri oleh pimpinan Biro Khusus PKI, Kolonel Abdul Latief, Komandan Batalyon 201, Komando Daerah Militer Jaya, Komandan Batalyon Kawal Kehormatan, Letnan Kolonel Untung, dan Mayor Udara Suyono.”
Dalam pertemuan dibicarakan bahwa suatu rencana untuk menggulingkan pimpinan Angkatan Darat dapat dijalankan oleh satu kompi Tjakrabirawa, dengan bantuan organisasi PKI seperti Pemuda Rakyat, Gerwani, SOBSI. Rencana tersebut, menurut Nugroho, mencakup pembagian kota Jakarta ke dalam sektor-sektor operasional serta penguasaan beberapa bangunan vital seperti Istana Kepresidenan, Stasiun Radio, dan Pusat Telekomunikasi.
Tujuan politik operasi ini ditegaskan dengan pembentukan Dewan Revolusi. Kabinet Dwikora dibicarakan juga. Dengan membentuk Dewan Revolusi, mereka ingin menggantikan kabinet yang lama.
“Percobaan kup sebenarnya mempunyai dua sasaran yang berlainan, tetapi saling terkait, yaitu sasaran politik yang luas dan sasaran yang sempit diarahkan kepada Angkatan Darat. Sasaran yang luas hanya dapat berhasil apabila sasaran yang sempit dicapai. Setelah sasaran pertama berhasil, tahap berikutnya adalah pembentukan kekuatan politik baru, yaitu NASAKOM progresif-revolusioner.”
Nugroho dan Ismail Saleh menulis buku ini berdasarkan data dan laporan TNI AD serta Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sejumlah tokoh PKI dan TNI yang terlibat G30S. Selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru, buku ini menjadi satu-satunya rujukan sejarah Indonesia mengenai peristiwa G30S.
Pemerintah memasukkan peristiwa G30S yang ditulis Nugroho ke dalam kurikulum pembelajaran sekolah. Tak hanya itu, buku Nugroho juga jadi rujukan film dokudrama
Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI
yang disponsori pemerintah. Sebuah film yang wajib ditonton anak-anak sekolah di masa Orde Baru tiap tanggal 30 September.
Orde Baru juga membuat sebuah museum khusus untuk mengenang peristiwa 1965. Museum di Lubang Buaya, Jakarta Timur, berisi diorama adegan pembunuhan para jenderal pada malam 30 September 1965.
2. Konflik internal TNI Angkatan Darat
Pada tahun 1971, Benedict Anderson and Ruth Mc.Vey mengeluarkan dokumen
“A Preliminary Analysis of The October 1, 1965, Coup in Indonesia”
atau Cornell Paper, yang memuat analisis awal mengenai peristiwa tersebut.
Dokumen yang kemudian dibukukan itu jadi salah satu analisis awal yang mencoba membedah peristiwa G30S. Namun, di masa Orde Baru, buku ini dilarang beredar di Indonesia karena memuat versi yang bertentangan dengan pemerintah.
Ben bukan tokoh asing bagi Indonesia. Dia adalah seorang Indonesianis atau pemerhati Indonesia yang paling otoritatif. Karya-karya Ben juga diakui secara internasional oleh para ilmuwan sosial dan politik.
Selain menulis analisis awal tentang peristiwa G30S, Ben menelurkan karya-karya bernas lain seperti
Java In a Time of Revolution
,
Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination
, dan karya monumental
Imagined Communites
.
Dalam buku ini menjelaskan bahwa Gerakan 30 September terjadi dikarenakan adanya konflik internal di tubuh Angkatan Darat, yaitu para perwira muda AD dari Divisi Diponegoro, Semarang, Jawa Tengah.
“Inti dari Gerakan 30 September tampaknya terdiri atas sekelompok kecil perwira muda yang bermarkas di Divisi Diponegoro di Semarang…”
Analisis Ben Anderson dan Ruth menyebut kekecewaan para perwira muda terhadap elite militer di Jakarta menjadi pemicu utama G30S. Promosi jabatan yang berjalan lambat, ditambah gaya hidup mewah jenderal-jenderal Angkatan Darat, menimbulkan ketidakpuasan yang meluas.
“Kenaikan pangkat berlangsung lambat dan sulit… Ada juga sentimen permusuhan terhadap apa yang dianggap sebagai kemewahan dan meluasnya dugaan korupsi para jenderal,”
tulisnya.
Selain itu, mencuat pula kecurigaan bahwa ada hubungan antara sebagian jenderal dengan Amerika Serikat melalui CIA. Ketegangan antara sejumlah jenderal Angkatan Darat dengan Presiden Sukarno sejak awal 1960-an memperbesar kekhawatiran perwira muda akan terjadinya kudeta balik oleh para jenderal terhadap kepala negara. Kondisi ini membuat sejumlah prajurit dari Divisi Diponegoro merasa perlu mengambil tindakan lebih dulu.
Tujuan mereka disebut bukan untuk menggulingkan Sukarno, melainkan menyingkirkan para jenderal politik yang dianggap menghambat.
“Tujuan utama kelompok Diponegoro ini tampaknya adalah menyingkirkan secara kekerasan para jenderal politik di Staf Umum Angkatan Darat…”
Pada bukunya Benedict dan Ruth juga menegaskan bahwa meski PKI terlibat, perwira muda TNI AD Diponegoro diduga memiliki peran sentral dalam merancang gerakan, dengan sasaran utama para jenderal yang dianggap korup, bukan presiden.
3. Peran CIA
Dalam buku
CIA & Penggulingan Bung Karno
(edisi revisi, cetakan kesembilan, 2019), Peter Dale Scott berargumen bahwa bahwa faksi kanan Angkatan Darat, dengan dukungan intelijen asing, memanfaatkan peristiwa G30S untuk menyingkirkan lawan politik dan mengukuhkan kekuasaan militer.
Peter Dale adalah akademisi dan mantan diplomat Kanada. Dia juga dikenal sebagai penyair. Banyak karya-karya Dale yang mendalami politik konspirasi di sejumlah negara. Namun, Dale menolak tulisan-tulisannya disebut sebagai konspiratif. Dale memilih menggunakan istilah ‘politik dalam’ atau
deep politics
.
“Dengan cara berpura-pura melakukan coup Gestapu, sebetulnya golongan kanan pada Angkatan Darat Indonesia telah melenyapkan saingan mereka, yakni golongan tengah AD. Dengan demikian mereka merintis jalan menuju penumpasan golongan kiri sipil… dan akhirnya menuju pengukuhan dan penegakan suatu diktator militer.”
Menurut Harold Crouch, menjelang 1965, staf umum AD terpecah menjadi dua kubu: kelompok tengah (Yani dkk.) yang menolak konfrontasi langsung dengan PKI, kemudian kelompok kanan (Nasution, Soeharto) yang “menentang kebijakan Yani dan Sukarnois. Para jenderal di kelompok kanan, disebut Crouch, adalah jenderal anti-PKI.
Scott juga menulis tentang adanya dukungan Amerika Serikat, lewat CIA, terhadap faksi kanan TNI AD. Pada masa Perang Dingin, Amerika Serikat berkepentingan menjaga Indonesia tidak jatuh ke tangan komunis. Campur tangan Amerika Serikat dalam peristiwa G30S, disebut sebagai upaya mencegah hal tersebut terjadi.
4. Soeharto
Narasi dugaan keterlibatan Soeharto diungkap dalam buku Pleidoi Kolonel Latief berjudul
A. Latief: Soeharto Terlibat G30S/PKI
.
Latief adalah kolonel TNI AD sekaligus tokoh penting dalam peristiwa G30S. Dia jadi salah satu dari sejumlah tokoh TNI dan PKI yang ditangkap usai kegagalan peristiwa G30S.
Buku Latief adalah materi pembelaan resminya saat sidang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub). Buku ini diterbitkan setelah Orde Baru tumbang.
Dalam buku itu, Latief menolak tuduhan dirinya sebagai dalang. Ia justru menuding Soeharto telah mengetahui serta menyetujui langkah yang diambil para perwira pelaku G30S.
Fakta-fakta lain mengukuhkan gugatan Latief ini. Hampir semua pelaku militer yang penting dalam G30S adalah anak buah atau bekas anak buah Soeharto, yaitu Soepardjo, Untung, dan Latief di Jakarta, Suherman, Usman, dan kawan-kawannya di Markas Divisi Diponegoro di Semarang.
Latief menyatakan hubungan mereka bukan sekadar hubungan komando militer, melainkan hubungan personal dan kekeluargaan yang erat.
“Bahkan, ketika Untung kawin, Soeharto ikut merayakan upacaranya… keluarga Latief diundang, dan sebaliknya pada upacara sunatan anak lelaki Latief, keluarga Soeharto menjadi tamu terhormat,”
tulis Latief.
Dari kedekatan itu, Latief yakin bahwa Soeharto mendukung langkah mereka untuk menumpas Dewan Jenderal yang disebut anti-Sukarno.
Melalui pengakuan ini, teori Latief menyimpulkan bahwa Soeharto bukan hanya mengetahui rencana G30S, tetapi juga memanfaatkannya sebagai momentum politik untuk menyingkirkan lawan-lawan ideologisnya dan mengambil alih kekuasaan dari Sukarno.
Soeharto dalam beberapa kesempatan telah membantah keterlibatannya dalam peristiwa G30S.
5. Bung Karno
Dalam buku The Sukarno File, 1965-1967: Chronology of a Defeat
karya Anthonie C.A Dake menyajikan teori bahwa Sukarno berperan aktif dalam memicu peristiwa G30S/PKI.
Dake adalah sarjana hukum lulusan Universitas Amsterdam, kemudian meraih master dari Fletcher School of Law and Diplomacy di Massachusetts, Amerika Serikat. Dia meraih doktor dengan predikat cum laude berkat disertasinya yang ditulis di Universitas Freie, Berlin, Jerman, yang dibukukan dalam judul In The Spirit of The Red Banteng: Indonesian Communism between Moscow and Peking
Dake menilai konflik tajam antara Sukarno dan pimpinan Angkatan Darat menjadi pemicu utama, terutama soal Fifth Force (Angkatan Kelima) dan loyalitas militer menjelang akhir kekuasaannya.
Dalam catatan Dake, sepanjang 1965, ketegangan meningkat karena sejumlah jenderal menolak kebijakan Sukarno yang condong ke Beijing.
Penolakan itu membuat Sukarno menilai sebagian pimpinan Angkatan Darat sebagai kelompok “disloyal.” Puncaknya terjadi 4 Agustus 1965, ketika ia memanggil Brigjen Sabur dan Letkol Untung dari Resimen Tjakrabirawa ke Istana Merdeka.
“Ex-Lt.Col. Untung arrived in the bedroom of Bung Karno in the palace on August 4th, 1965… Bung Karno asked Lt.Col. Untung if he was prepared to accept orders that measures should be taken against the army generals who were disloyal. Untung replied that he was.”
“Mantan Letnan Kolonel Untung datang ke kamar Bung Karno di istana pada 4 Agustus 1965… Bung Karno menanyakan kepada Letnan Kolonel Untung apakah ia bersedia menerima perintah untuk mengambil tindakan terhadap para jenderal Angkatan Darat yang dianggap tidak loyal. Untung pun menjawab bahwa ia bersedia.”
Setelah pertemuan tersebut, Untung menjalin kontak dengan jaringan rahasia PKI. Dake mencatat:
“Untung diketahui pernah menjalin kontak dengan seorang anggota partai yang dikenal dengan salah satu nama samaran, yakni Walujo. Dalam Biro Khusus PKI yang berada di bawah pengawasan langsung Ketua PKI D.N. Aidit, Walujo menempati posisi sebagai orang ketiga terpenting.”
Dugaan keterlibatan Sukarno telah dibantah oleh sejumlah kalangan, termasuk keluarganya. Terbaru, MPR RI secara resmi mencabut TAP MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Sukarno.
Salah satu poin pertimbangan dalam TAP MPRS itu berbunyi ‘Presiden Sukarno disebut melindungi tokoh-tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI)’. Dengan demikian, poin itu tak lagi terbukti.
6. Tidak ada pelaku tunggal
Salah satu wacana penting yang muncul dalam penelitian John Roosa,
Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto’s Coup D’Etat in Indonesia
, adalah gagasan bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 tidak bisa dijelaskan dengan menunjuk satu dalang tunggal.
Roosa adalah asisten profesor Sejarah di University of British Columbia, Vancouver, Kanada.
Narasi resmi Orde Baru menyebut PKI sebagai aktor utama di balik penculikan dan pembunuhan tujuh perwira tinggi Angkatan Darat. Namun, Roosa menilai pendekatan ini terlalu menyederhanakan, sebab fakta di lapangan menunjukkan ada banyak aktor yang terlibat dan tidak adanya pusat komando yang jelas.
Pemicu munculnya teori “tidak ada pelaku tunggal” berangkat dari kejanggalan besar:
bagaimana mungkin partai sipil seperti PKI mampu mengendalikan operasi militer berskala nasional yang ternyata dijalankan secara kacau?
Roosa menyoroti pandangan Harold Crouch yang menyebut bahwa inisiatif awal justru datang dari kalangan militer.
PKI memang ikut serta, tetapi posisinya bukan sebagai perancang utama. Seperti ditulis Roosa:
“Kesaksian di pengadilan mengungkapkan bahwa keterlibatan PKI, khususnya dua anggotanya yakni Sjam dan Pono, terlalu besar untuk dianggap sebagai sesuatu yang tidak disengaja atau kebetulan belaka. [Harold] Crouch tidak dapat sepenuhnya mendukung kesimpulan makalah Cornell yang membebaskan PKI dari segala tuduhan. Namun demikian, kesimpulan akhirnya sejalan dengan premis dasar makalah Cornell. Ia berpendapat bahwa inisiatif awal muncul dari dalam tubuh Angkatan Darat. PKI memang terlibat secara signifikan, tetapi tetap berperan sebagai pihak sekunder.”
Kesaksian Brigadir Jenderal Supardjo-salah seorang pelaku G30S-semakin menegaskan kompleksitas itu. Dalam catatan refleksinya, Supardjo sendiri bingung siapa sebenarnya yang memimpin gerakan.
Roosa menulis:
“Meskipun Supardjo mengamati gerakan tersebut dari jarak dekat, ia mengakui bahwa dirinya pun bingung tentang siapa sebenarnya yang memimpin gerakan itu. Gerakan tersebut, yang mengabaikan prinsip-prinsip dasar organisasi militer, tidak memiliki satu komandan tunggal yang memberikan perintah dalam rantai komando yang jelas.”
Lebih jauh lagi, Supardjo mengakui bahwa rencana awalnya berasal dari perwira militer progresif, sebelum akhirnya diambil alih oleh unsur PKI melalui Sjam.
Roosa mencatat:
“Terjadi pergeseran dalam rencana operasional, yang semula bersifat internal di lingkungan Angkatan Darat, menjadi sebuah operasi yang dipimpin langsung oleh partai. Pergeseran ini menyeret partai untuk terlibat lebih jauh dan pada akhirnya berujung pada kehancuran partai tersebut.”
Atas dasar itulah Roosa menyimpulkan bahwa kesalahan penelitian-penelitian sebelumnya adalah berangkat dari asumsi adanya dalang tunggal. Ia menulis:
“Kelemahan dari sebagian besar penyelidikan awal mengenai gerakan tersebut terletak pada titik awalnya, yakni asumsi bahwa pasti ada dalang di balik peristiwa itu. Saya berpendapat bahwa tidak ada satu ‘dalang utama’, baik berupa satu orang maupun sekelompok kecil individu yang terorganisir dengan pembagian tugas yang jelas dan hierarki kekuasaan tertentu. Gerakan tersebut menjadi misterius justru karena tidak memiliki satu pusat pengambil keputusan yang tunggal.”
Dengan demikian, menurut Roosa, G30S lebih tepat dipahami sebagai peristiwa tanpa kendali tunggal, melainkan hasil interaksi antara berbagai kelompok dengan kepentingannya masing-masing.
Peran Soeharto hingga Tak Ada Dalang Tunggal
BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN:
1
2

Baca lagi: Photo: Evacuation of victims of Musala Ponpes Al Khoziny Sidoarjo collapsed

Baca lagi: Photo: Super Typhoon Ragasa Hang Taiwan, 14 Died & 124 Missing

Baca lagi: Jaksa ICC Dakwa Duterte dengan 3 Tuduhan Kejahatan Kemanusiaan

Exit mobile version